PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL BERBASIS PESANTREN
BY: Ahmad Mustafidin, M.S.I

ABSTRAK

Karakter bangsa yang religious, santun, moderat, saling menghormati, mandiri, dan sebagainya sebagaimana dimanatkan dalam Pancasila, perlu dibentuk dan dikembangkan melalui dunia pendidikan. Oleh karena itu, nilai-nilai karakter yang telah ditanamkan di pondok pesantren nampaknya dapat dijadikan acuan bagi pengembangan kurikulum muatan local di sekolah dan madrasah formal. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap perlu dikaji tentang: 1) konsep umum kurikulum muatan lokal, 2) pengembangan kurikulum muatan local berbasis pesantren, dan 3) urgensi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren bagi pembentukan karakter bangsa.
Berdasarkan deskripsi mendalam menunjukkan bahwa: 1) kurikulum muatan lokal dapat diterapkan pada sekolah/madrasah formal melalui pengembangan salah satu mata pelajaran yang diinginkan oleh lembaga pendidikan bersangkutan dengan mempertimbangan kebutuhan sekolah, bakat dan minat siswa, serta masyarakat/orangtua. Muatan lokal ini dapat dikembangkan melalui mata pelajaran intrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikuler (pembiasaan di lingkungan sekolah). 2) kurikulum muatan lokal berbasis pesantren dapat dikembangkan sebagai ciri khas dan keunggulan sekolah/madrasah dalam membentuk kepribadian peserta didik yang berkarakter “santri. Materi keagamaan dan nilai-nilai kepribadian santri yang telah dibiasakan di lingkungan pesantren kemudian ditransfer di dalam kurikulum sekolah/madrasah. Pengembangannya bisa secara penuh dengan pondok/asrama sebagai ciri khasnya, maupun kurikulum mata pelajarannya saja, dan juga bisa melalui kegiatan pengembangan diri, ekstrakurikuler dan kokurikuler. 3) Sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, dan politikus, bahkan sampai saat ini pun dapat dibuktikan. Jika nilai-nilai karakter santri leres (ideal) dapat diterapkan di lingkungan sekolah/madrasah, tentunya dapat mendukung terbentuknya karakter bangsa di masa mendatang. Nilai yang diharapkan antara lain: menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa, bersikap tegas menentang kekafiran dan kebatilan secara konsekuen, membentuk intelektualitasdan kesholehan (moralitas), membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran Islam, menjadikan dirinya bagaikan benteng terakhir pertahanan terakhir dari serangan kebudayaan negatif.

Kata Kunci: Karakter Bangsa, Kurikulum Muatan Lokal, Pesantren.


PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL BERBASIS PESANTREN

A.    Pendahuluan
Lembaga Pendidikan Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren.[1] Melalui karakternya yang khas, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang Islam tetapi juga kemampuan menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Pada tahap berikutnya, masuknya model pendidikan sekolah yang dibawa oleh Kolonial Belanda membawa dampak kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, karena mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama dan ilmu sekuler, dan bahkan diskriminatif.[2] Sebagaimana diungkapkan oleh Karel A. Steenbrink,[3] bahwa pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial ini berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan umum, sedangkan pendidikan Islam lebih ditekankan pada penghayatan agama.[4] Dampak positif bagi perkembangan pendidikan Islam ialah masuknya sistem pendidikan sekolah ini ke dalam lembaga pendidikan Islam. Corak model pendidikan ini dengan cepat menyebar tidak hanya di pelosok pulau Jawa tetapi juga di luar pulau Jawa, dari sinilah embrio sekolah/madrasah lahir.
Sekolah/madrasah juga tidak mungkin lepas dari berbagai problema yang dihadapi terutama dalam upaya inovasi sistem pendidikan Islam. Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in, antara lain: pertama, sekolah/madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan sekolah/madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia. Kedua, terdapat dualisme pemaknaan terhadap sekolah/madrasah, di satu sisi, sekolah/madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Sekolah/madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan sekolah/madrasah diniyah.[5]
Beberapa permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: pertama, berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim sejati, apalagi kemudian dikurangi. Kedua, tamatan sekolah/madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.[6]
Upaya untuk menjembatani antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah,  sekolah/madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan.
Permasalan yang muncul akhir-akhir ini adalah dekadensi moral bangsa, yang dimulai dari para pejabat negara yang korup, sistem pemerintahan yang rawan dengan KKN, tawuran antar pelajar, ketidakadilan para penegak hukum, kesenjangan social, dan lain sebagainya. Sehingga pantas apabila jargon pemerintahan Joko Widodo dan Yusuf Kalla dikenal dengan “Revolusi Mental” atau “Pendidikan Karakter”.
Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena tiga hal; (1) secara makro, telah terjadi kemerosotan karakter bangsa ditandai oleh tingginya indeks korupsi, premanisme dan kekerasan. (2) secara mikro dalam dunia pendidikan juga banyak kasus bullying, tawuran-antar pelajar, kelemahan sistim kurikulum dan proses pembelajaran yang tidak kondusif bagi pembentukan karakter bangsa. (3) Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih sejak kampanye sudah menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga hal utama kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya.[7]
Pentingnya pendidikan karakter ini juga seperti kutipan dari Presiden Soekarno bahwa tidak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa. Mahatma Gandhi juga mengatakan bahwa pendidikan tanpa karakter adalah satu dari tujuh ”dosa-dosa berat”  dari sebuah masyarakat (seven deadly sins of society).[8] 
Solusi yang ditawarkan untuk meneruskan program revolusi mental melalui dunia pendidikan antara lain dengan “Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren.” Melalui kajian singkat ini diharapkan dapat membuka cakrawala insan akademika untuk mengkaji bagaimana konsep kurikulum muatan lokal berbasis pesantren? Bagaimana implementasinya? dan bagaimana urgensinya bagi pembentukan karakter bangsa?

B.     Tinjauan Teoritis Kurikulum Muatan Lokal
1.      Pengertian Kurikulum Muatan Lokal
Sebelumnya membahas kurikulum muatan lokal, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian kurikulum. Sebagaimana diketahui, istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin curriculum yang memiliki arti a running course or race course, especially a chariot maksud semua itu adalah to run atau berlari.[9] Pada perkembangan selanjutnya istilah tersebut digunakan untuk sejumlah courses atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah, atau sejumlah materi pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.
Menurut pemahaman baru, kurikulum diartikan sebagai segala kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk disajikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan (instruktional, kurikuler dan institutional). Pengertian kurikulum menurut pandangan para ahli pendidikan modern adalah berupa pengalaman belajar, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah/sekolah/madrasah. Pengertian tersebut berarti memiliki cakupan luas sebagai seluruh kegiatan peserta didik yang berada di bawah tanggung jawab dan bimbingan lembaga. Pengertian tersebut juga menggambarkan segala aktivitas yang sekiranya memiliki efek bagi pengembangan peserta didik dimasukkan ke dalam kurikulum.[10]
Jadi, pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[11]
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing.[12]
Mengingat kurikulum muatan lokal merupakan bagian dari kurikulum nasional, maka masuknya muatan lokal tidak berarti mengubah kurikulum yang sudah ada. Artinya, ditinjau dari bidang studi yang telah ada dalam kurikulum nasional, tetap digunakan rujukan dalam memasukkan bahan pengajaran muatan lokal.
2.      Fungsi dan Tujuan Kurikulum Muatan Lokal
Salah satu ciri kurikulum pendidikan dasar 9 tahun adalah adanya mata pelajaran muatan lokal, yang berfungsi memberi peluang untuk mengembangkan kemampuan siswa yang dianggap perlu oleh sekolah/madrasah dan daerah yang bersangkutan.[13]
Menurut Oemar Hamalik,[14] fungsi kurikulum muatan lokal ialahsebagai berikut:
a.    Fungsi Penyesuaian.
Sekolah/madrasah merupakan komponen dalam masyarakat, sebab sekolah/madrasah berada di dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, program sekolah/madrasah harus disesuaikan dengan lingkungan, kebutuhan daerah dan masyarakat.
b.   Fungsi Integrasi.
Peserta didik adalah bagian integral dari masyarakat. Karena itu, muatan lokal merupakan program pendidikan yang berfungsi mendidik pribadi-pribadi peserta didik agar dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dan lingkungannya atau berfungsi untuk membentuk dan mengintegrasikan pribadi peserta didik dengan masyarakatnya.
c.    Fungsi Perbedaan
Peserta didik yang satu dengan yang lain berbeda. Muatan lokal adalah suatu program pendidikan yang bersifat luwes, yaitu program pendidikan yang pengembangannya disesuaikan dengan minat, bakat, kemampuan dan kebutuhan peserta didik, lingkungan dan daerahnya. Tujuan muatan lokal sebagaimana dijelaskan dalam Depdiknas,[15] yaitu untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai- nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Jadi, tujuan muatan lokal sifatnya memperkaya, memperluas tujuan pendidikan yang telah digariskan dalam kurikulum nasional, serta tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
3.      Ruang Lingkup Kurikulum Muatan Lokal
a.       Sesuai Keadaan dan Kebutuhan Daerah
Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya. Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan arah perkembangan daerah serta potensi daerah yang bersangkutan.
Kebutuhan daerah tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Riwayuat, misalnya kebutuhan untuk:[16]
1)      Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah
2)      Meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu, sesuai dengan keadaan perekonomian daerah
3)      Meningkatkan penguasaan bahasa asing untuk keperluan sehari-hari, dan menunjang pemberdayaan individu dalam melakukan belajar lebih lanjut (belajar sepanjang hayat).

b.      Lingkup isi/jenis muatan lokal, dapat berupa: bahasa daerah, bahasa asing (Inggris, Mandarin, Arab dll), kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah.[17]
4.      Struktur Kurikulum Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, dicantumkan bahwa struktur kurikulum untuk pendidikan dasar dan menengah memberi alokasi waktu untuk muatan lokal itu dua jam pelajaran dalam satu minggu.[18]
Posisi muatan lokal dalam KTSP maupun dalam kurikulum tahun 2013 adalah sebagaimana dijelaskan dalam BSNP, meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Selain itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.[19]

C.    Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Sekolah/madrasah memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan waktu untuk mengajar, membimbing, dan mengevaluasi hasil belajar siswa, maka alternatif yang sangat memadai untuk mengatasi keterbatasan tersebut adalah pengembangan sekolah/madrasah berbasis pesantren. Akan tetapi, mengenai basis pesantren yang akan dikembangkan tentu dapat beraneka ragam, mulai dari jenis pesantren yang berorientasi tradisional hingga jenis pesantren yang orientasi modern.
1.      Strategi Pengembangan Sekolah/madrasah Berbasis Pesantren
Menurut Imam Tolkhah,[20] ada dua strategi yang dapat dikembangkan tentang sekolah/madrasah/sekolah berbasis pesantren, yakni pengembangan PAI berbasis pesantren secara penuh dan pengembangan PAI berbasis pesantren secara parsial:
a.    Pengembangan PAI berbasis pesantren secara penuh pada sekolah/madrasah/sekolah
Pengembangan PAI di sekolah/madrasah berbasis pesantren secara penuh dapat dilakukan dengan dua model:
1)      Pesantren mengembangkan sekolah/madrasah diniyah sekaligus sekolah.
Bahkan pesantren mendirikan sekolah/sekolah/madrasah terkesan meningkat. Bagi sebagian pesantren, pendirian sekolah/madrasah tersebut memang diperuntukan para santri yang mondok di pesantren. Melalui cara ini diharapkan bahwa para santri tidak saja hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum yang setara dengan para siswa di sekolah lain.[21]
2)      Pesantren dimunculkan bersamaan atau setelah pengembangan sekolah/sekolah/madrasah
Ada beberapa prasyarat yang diperlukan untuk mengembangkan budaya pesantren secara penuh pada sekolah/madrasah dengan pertama, di samping adanya fasilitas sekolah/madrasah yang memadai, perlu memiliki sarana atau fasilitas pesantren seperti masjid, kitab-kitab agama, perpustakaan, laboratorium, sarana olah raga, seni dan teknologi informasi. Kedua, diperlukan seorang kepala sekolah/madrasah dan para siswa, guru, tutor serta kyai yang tinggal dalam satu komplek asrama. Ketiga, diperlukan kesiapan siswa untuk belajar secara total (menjadi santri).[22] Keempat, diperlukan seorang kepala sekolah/madrasah yang berkualitas (kemampuan manajerial serta dedikasi yang tinggi). Kelima, diperlukan sejumlah guru, tutor dan tenaga administrasi yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pendidikan.[23]
b.   Pengembangan PAI berbasis pesantren secara parsial pada sekolah/sekolah/madrasah
Pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah berbasis pesantren secara parsial pada dasarnya menempatkan sebagian dari nuansa pesantren (yang mencakup keberadaan fisik dan nonfisik) dalam sistem pendidikan sekolah/sekolah/sekolah/madrasah. Hal ini menunjukkan bahwa, sistem pendidikan sekolah/madrasah mengadopsi sebagian dari unsur atau kultur pesantren. Berikut ini contoh pembelajaran PAI berbasis pesantren secara parsial pada sekolah/madrasah:
1. Pengembangan Pesantren Kilat
2. Boarding school.
3. Pengembangan Simbol Agama.[24]

2.      Ruang Lingkup Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu: tujuan, materi, strategi pembelajaran, organisasi kurikulum, dan evaluasi.[25] Kelima komponen tersebut di atas, menurut Akhmad Sudrajat[26] memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan.
Oleh karena itu ruang lingkup kurikulum muatan lokal berbasis pesantren juga meliputi lima komponen tersebut, yaitu: Tujuan kurikulum muatan lokal disesuaikan dengan tujuan satuan pendidikan (sekolah/madrasah bersangkutan), institusional, maupun instruksional. , apabila sekolah/madrasah yang dikembangkan berciri khas pesantren salaf, maka tujuannya juga berorientasi pada pesantren salaf. Begitu halnya jika sekolah/madrasah yang dikembangkan mengikuti pesantren modern, maka ciri khas muatan lokalnya bertujuan ke arah tersebut.
Materi kurikulum muatan lokal berbasis pesantren bisa mengadopsi kurikulum pesantren salafiyah (tradisional) maupun kurikulum pesantren khalafiyah (modern). Penentuan dan pengambilan mata pelajarannya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
Strategi pembelajaran muatan lokal adalah sama halnya dengan kurikulum Nasional dan Depag, namun lebih banyak berupa ceramah, praktek, menemukan/mengalami sendiri (inquiry), pembiasaan dan teladan (modelling).
3.      Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Ada dua pola pengembangan mata pelajaran muatan lokal dalam rangka menghadapi pelaksanaan KTSP. Pola tersebut adalah:
a.       Pengembangan Muatan Lokal Sesuai Kondisi Sekolah/madrasah
Langkah pengembangan mata pelajaran muatan lokal tersebut sesuai dengan penjelasan oleh Tim BMPS yaitu:
1)      Analisis mata pelajaran muatan lokal yang ada di sekolah/sekolah/madrasah. Apakah masih layak dan relevan mata pelajaran muatan lokal diterapkan di sekolah/madrasah?
2)      Bila mata pelajaran muatan lokal yang diterapkan di sekolah/madrasah tersebut masih layak digunakan maka kegiatan berikutnya adalah merubah mata pelajaran muatan lokal tersebut ke dalam SK dan KD
3)      Bila mata pelajaran muatan lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka sekolah/madrasah bisa menggunakan mata pelajaran muatan lokal dari sekolah/madrasah lain atau tetap menggunakan mata pelajaran muatan lokal yang ditawarkan oleh Dinas atau mengembangkan muatan lokal yang lebih sesuai.
Selain melalui langkah-langkah di atas, untuk menerapkan suatu mata pelajaran muatan lokal perlu mempertimbangkan kebutuhan sekolah/madrasah dan mengikuti sekolah/madrasah lain atau Dinas setempat.
b.      Pengembangan Muatan Lokal dalam KTSP
Langkah-langkah pengembangan mata pelajaran muatan lokal yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1)      Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah
2)      Menentukan fungsi dan susunan atau komposisi muatan lokal
3)      Mengidentifikasi bahan kajian muatan lokal
4)      Menentukan mata pelajaran muatan lokal
5)      Mengembangkan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar serta silabus, dengan mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan BSNP.[27]
Pihak yang terlibat dalam pengembangan ialah pihak sekolah/madrasah dan komite sekolah/madrasah, yang mempunyai wewenang penuh dalam mengembangkan program muatan lokal Bila dirasa tidak mempunyai SDM dalam mengembangkan, sekolah/madrasah dan komite sekolah/madrasah dapat bekerjasama dengan unsur-unsur Depdiknas seperti Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Perguruan Tinggi dan instansi/lembaga di luar Depdiknas, misalnya pemerintah Daerah/Bapeda, Dinas Departemen lain terkait, dunia usaha/industri, dan tokoh masyarakat.[28]

D.    Urgensi Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren Bagi Pembentukan Karakter Bangsa
Menurut Suratno,[29] istilah pendidikan karakter mulai dicetuskan akhir abad ke-18 oleh seorang pakar pendidikan dari Jerman yakni Friedrich Foerster (1869-1966) yang menandai pendidikan karakter dengan 4 ciri yakni; (1) anak didik menghormati nilai dan normatif yang ada, (2) membangun rasa percaya diri sehingga anak didik tidak takut suasana baru, (3) adanya otonomi diri dimana anak didik menghayati dan mengamalkan aturan sampai kemudian terinternalisasi dalam dirinya, dan (4) keteguhan anak dalam mewujudkan apa yang dianggap baik dan penghormatan pada komitmen yang dipilihnya.
Dalam konteks Indonesia, Presiden pertama Soekarno merumuskan UU No. 4/1950 bahwa pendidikan harus sesuai dengan tujuan negara dan perlunya nation and character building karena masyarakat Indonesia mengalami kerusakan mental yang parah akibat penjajahan. Tahun 1965 Soekarno memutuskan Pancasila sebagai dasar Sistim Pendidikan Nasional dan menjadi pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai Pergurutan Tinggai. Keputusan ini lalu dipertegas Presiden Soeharto di tahun 1967.
Tahun 1976 Pelajaran pancasila di ganti menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan tahun 1979 Presiden Soeharto menjadikan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sebagai program nasional. Tahun 1994 PMP diganti menjadi PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).
Tahun 2001, di tengah tuntutan reformasi untuk mereformasi Pancasila versi Orde Baru, PPKN di ganti hanya PKN (Pendidikan Kewarganegaraan). Di dunia Pendidikan sejak reformasi Pancasila justru terkesan di pinggirkan. Persepsi peserta didik terhadap pelajaran Pancasila dari SD sampai perguruan tinggi juga sangat tidak menggembirakan.
Sejak terpilih beberapa bulan lalu Jokowi-JK sudah menegaskan perlunya revolusi mental. Di bidang pendidikan, hal ini sinkron dengan Pendidikan Karakter yang belum lama digodok kemendikbud terkait pelaksanaan kurikulum 2013 (K-2013). K-2013 yang relatif pelaksanaannya kacau balau, tapi secara konseptual mengandung menekanan pada aspek tidak hanya kognitif, tapi juga afektif, motorik dan social-skill sehingga bila dilaksanakan dengan baik dan benar bisa mendorong pembentukan karakter di sekolah.
Pusat Kurikulum Kemendikbud telah menyusun strategi pendidikan karekter ini, yang melalui empat hal yakni pembelajaran (teaching), keteladanan (modelling), penguatan (reinforcing) dan pembiasaan (habituating). Nilai-nilai dalam pendidikan karakter diambil dari empat sumber utama yakni: agama, budaya, Pancasila dan tujuan pendidikan.
Kemendikbud juga telah menetapkan 18 nilai utama dalam pendidikan karakter yakni relijius, jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, mandiri, demokratis, ingin-tahu, semangat-kebangsaan, cinta-tanah-air, menghargai-prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta-damai, gemar-membaca, peduli-lingkungan, peduli-sosial, dan tanggung-jawab.
Di level sekolah guru akan menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan karakter karena mereka yang langsung berinteraksi dengan anak didik. Guru sesuai asal katanya di gugu (dipercaya) dan di tiru (menjadi tauladan) memegang peranan penting. Sayangnya profil guru baik dari profesionalitas, kompetensi, kesejahteraan dan pemerataan guru antara kota dan desa masih belum baik.
Melalui pengembangan kurikulum muatan lokal berbasis pesantren diharapkan mampu menjadi solusi di tengah kegelisahan dari berbagai kalangan. Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana dikembangkan sejak awal abad ke-20, dari pesantren kemudian madrasah dan sekolah,[30] hingga saat ini nampaknya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendidikan sekolah/madrasah yang masih sedikit materi keagamaan dan pembiasaan nilai-nilai karakter ke-Islam-an ini perlu dikembangkan melalui pengembangan kurikulum muatan lokal di sekolah formal.
Bagi bangsa Indonesia saat ini, pendidikan karakter ini suatu keharusan dalam koridor revolusi mental yang sudah digagas Jokowi-JK. Oleh karena itu, pendidikan karakter akan saling terkait dengan aspek lainnya dalam kehidupan bernegara seperti agama, budaya, sosial, politik dan sebagainya. Oleh karena itu pendidikan karakter yang termaktub dalam kurikulum inti saja tidak cukup. Maka butuh pengembangan salah satunya melalui kurikulum muatan lokal, dengan manambah porsi jam mata pelajaran keagamaan sebagai muatan local dan pembiasaan akhlakul karimah sebagaimana yang diterapkan di pesantren.
KH. Miscbach, tokoh dari kalangan ulama, mengatakan dalam Mubes al-Ittihad al-Ma’ahid Islamiyah pada tanggal 2-3 Agustus 1969 bahwa pesantren merupakan kubu pertahanan mental masa-masa kolonial Belanda. Artinya, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu dominan dipengaruhi pesantren. Tentu, ini dikarenakan tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini Belanda sebagai penjajah.
Pesantren juga sukses dalam memberantas buta huruf pada masyarakat akar rumput masa penjajahan dengan sistem mengenalkan bahasa Arab Melayu. Di lain hal, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat muslim Indonesia yang pertama membuka isolasi kultural dengan dunia luar. Hal ini adalah bentuk kemampuan pesantren dalam mengaktualkan bahasa Arab. Turunannya adalah membuka wacana bangsa hingga dapat berinteraksi dengan dunia dan keilmuan yang lebih luas.
Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, bahkan politikus, bahkan sampai saat ini pun dapat dibuktikan. Banyak tokoh-tokoh nasional sekarang pernah mengenyam pendidikan pesantren secara baik. K.H. Hasan Basri, tokoh dan ulama nasional mengatakan bahwa beberapa titik keberhasilan pesantren, antara lain:
1.      Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mereka memiliki daya dan semangat juang yang tinggi untuk Islam.
2.      Bersikap tegas menentang kekafiran dan kebatilan secara konsekuen dan menyatukan diri dengan golongan pergerakan yang mempunyai pandangan yang sama.
3.      Mampu membentuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesholehan (moralitas) pada diri para santri, menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan, dan membina diri untuk memiliki akhlak terpuji.
4.      Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran Islam (masyarakat santri) sehingga menjadi kekuatan sosial dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat bangsa Indonesia.
5.      Menjadikan dirinya bagaikan benteng terakhir pertahanan terakhir ummat Islam dari serangan Kebudayaan Barat yang dilancarkan pemerintah kolonial Belanda. Dengan kata lain, pesantren berhasil menyelamatkan kebudayaan Islam di Indonesia.
6.      Pesantren dan masyarakat santrinya adalah satu-satunya lembaga pendidikan di Indonesia yang tidak mengenal kompromi atau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.
7.      Dalam menghadapi arus perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang melanda bangsa Indonesia, ternyata masih tetap menunjukkan vitalitasnya untuk tetap berperan sebagai salah satu kekuatan sosial yang penting bagi peradaban Islam di Indonesia, baik masa kini maupun masa mendatang. Pesantren juga ternyata tidak tergilas oleh arus perkembangan lembaga-lembaga pendidikan modern yang berkiblat ke Barat.
Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pesantren, dulu ataupun sekarang, merupakan lembaga yang berhasil membentuk karakter-karakter pribadi muslim (santri) dan memiliki peranan besar dalam membina ummat dan bangsa hingga ke pelosok pedesaan.[31]
Menurut Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi (Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo), bahwa pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri).[32] Hal itu karena:
Pertama, Adanya Panca Jiwa yang terdiri dari: Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah Islamiyah, dan Kebebasan dalam menentukan lapangan perjuangan dan kehidupan. Panca jiwa ini menjadi landasan ideal bagi semua gerak langkah pesantren.
Kedua, Pesantren juga mempunyai falsafah yang menjadi mutiara hikmah bagi seluruh penghuni pesantren. Diantaranya ada Falsaafah kelembagaan, seperti: 1) Pondok adalah lapangan perjuangan, 2) Hidupilah Pondok, dan jangan menggantungkan hidup kepada Pondok, 3) Pondok adalah tempat ibadah dan thalabul ‘ilmi, 4) Pondok berdiri di atas dan untuk semua golongan. Selain itu ada juga falsafah pendidikan, seperti: 1) Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dikerjakan oleh santri sehari-hari adalah pendidikan, 2) Hidup sekali, hiduplah yang berarti, 3) Berani hidup tak takut mati, takut mati, jangan hidup, takut hidup mati saja, 4) Berjasalah, tetapi jangan minta jasa, 5) Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, 6) Hanya orang penting yang tahu kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu arti perjuangan. Sedang diantara falsafah pembelajarannya adalah: 1) Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri, 2) Pondok memberikan kail, tidak memberi ikan, 3 Ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian, 4) Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal dan ibadah.
Transformasi nilai-nilai pendidikan pesantren yang berlangsung sepanjang tahun, melalui berbagai sarana (lisan, tulisan perbuatan dan kenyataan), telah mampu memadukan seluruh komponen pesantren dalam satu barisan. Sehingga tidak terjadi tarik-menarik kepentingan dan orientasi antara satu pihak dengan lainnya. Semuanya melandasi gerak langkahnya dengan bahasa keikhlasan, kesederhanaan, kesungguhan, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah. Semua mempunyai pengertian dan keterpanggilan akan tanggungjawab untuk merealisasikan visi dan misi pendidikan pesantrennya. Semua mempunyai keterikatan pada sistem hingga kultur yang sudah terbentuk di pesantren. Karena mereka semua mempunyai kesadaran, keterpanggilan dan loyalitas baik kepada nilai, sistem maupun pemimpin. Soliditas ini menumbuhkan kekuatan yang dahsyat dalam proses pendidikan karakter di pesantren.
Jika karakter tersebut di atas dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari, maka peserta didik akan menjadikannya karakter pesantren dalam segala aktivitas hidupnya baik ketika masih dalam proses pendidikan formal maupun setelah terjun di masyarakat luas.
Untuk itulah, maka pengembangan karakter model pesantren ini perlu dijadikan top model dalam pendidikan formal baik sekolah maupun madrasah. Penciptaan lingkungan model pesantren di lingkungan sekolah dan madrasah memang belum banyak dilakukan. Jika di antara lembaga mau membiasakan lingkungan model pesantren, dapat dilakukan melalui:
1. Penugasan
2. Pembiasaan
3. pelatihan
4. Pengajaran
5. Pengarahan, dan
6. keteladanan.
Selain penciptaan lingkungan, dapat juga dilakukan dengan membina peserta didik melalui berbagai macam pendekatan, seperti; 1) Pendekatan program, 2) Pendekatan manusiawi (personal), dan 3) Pendekatan idealisme.
Pada praktiknya, pengembangan bentuk kurikulum muatan lokal berbasis pesantren bisa dilakukan sesuai kebutuhan dengan berbagai pilihan. Menurut Mastuhu,[33] ada beberapa arah perkembangan pendidikan pesantren yang akan berjalan menempuh bentuk-bentuk alternatif sebagai berikut:
1.      Tetap berbentuk lama, yaitu sebagai pendidikan non formal yang khusus mendalami ilmu-ilmu agama.
2.      Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai ketrampilan, dengan catatan bahwa studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan pemikiran dalam Islam.
3.      Berbentuk seperti alternatif kedua namun ada penyelenggaraan pendidikan formal, baik sekolah/madrasah ataupun sekolah umum, sebagaimana sekarang ini yang berlaku: ‘pesantren’ sekolah/madrasah dan sekolah umum berada dalam satu ‘kampus’ pesantren.
4.      Berubah menjadi bentuk pendidikan formal yang mengasuh khusus ilmu-ilmu agama.
5.      Berubah menjadi bentuk alternatif keempat ditambah dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Alternatif pilihan tersebut di masa mendatang dapat diimplementasikan pada sekolah/madrasah sebagai mata pelajaran muatan lokal berbasis pesantren. Bentuk mata pelajarannya sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan di pesantren, baik fiqih, aqidah, akhlak, dan sebagainya. Lingkungan keislaman dapat diciptakan di sekolah/madrasah sebagaimana pembiasaan yang ada di pondok pesantren.
Untuk merealisasikan dan mengembangkan pendidikan karakter nasional bangsa ada beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat antara lain sebagai berikut:
Pertama penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan yang mempunyai orientasi character building, mementingkan pendidikan yang integral, mengembangkan dan meningkatkan potensi anak didik dalam segala aspek kemanusiannya. Pendidikan yang berbasis nilai, melakukan transformasi kepribadian, akhlak, tingkah laku, pola fikir dan sikap. Bukan hanya mentransfer informasi dan pengetahuan semata (aspek kognitif) dengan melalaikan aspek afektif dan spikomotorik, melalui pembiasaan dan teladan sebagaimana yang dicontohkan di pesantren.
Kedua menyiapkan tenaga pendidik terutama kepala-kepala sekolah/madrasah yang handal untuk merealisasikan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Tenaga pendidik dan kepala sekolah yang mencintai tugasnya, mempunyai ruh dan semangat idealisme tinggi, berdedikasi dan mempunyai integritas moral tangguh, mempunyai kecakapan menejerial dan mampu menjadi teladan dalam segala hal bagi anak didiknya. Mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan senantiasa meningkatkan diri dan memperbaharui pengetahuan (refresh/up-date), bersikap terbuka terhadap hal-hal baru (open mind) dan bersikap bersedia membantu (helpful).
Ketiga penciptaan lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan. Diperlukan stabilitas nasional, dukungan keluarga, masyarakat, LSM maupun lembaga lain merupakan pilar-pilar pendukung bagi keberlangsungan iklim pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya karakter bangsa peserta didik. Jika salah satu pilar terganggu maka seluruh proses pembelajaran pun terganggu. Sistem asrama/pondok maupun pembiasaan di lingkungan yang mendukung karakter sangat berpengaruh bagi jiwa peserta didik.
Jadi, karakter bangsa Indonesia yang berperangkai santri tidak harus dibentuk melalui lembaga pendidikan pesantren saja, namun bisa juga dilakukan di lingkungan pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah, sebagaimana deskripsi di atas. Melalui pembiasaan nilai Islam, pembentukan lingkungan dan teladan diharapkan menghasilkan output dan outcome yang sesuai dengan karakter Islam. Sebagaimana pendapat Cliford Geertz,[34] yang mengatakan bahwa sebagian orang Jawa membagi varian santri ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
1.      Santri leres, yaitu santri-santri yang berada di lingkungan pondok pesantren yang rajin belajar ilmu keagamaan serta taat dan patuh menjalankan ibadah
2.      Santri blikon, yaitu mereka yang taat dan berpengetahuan tetapi tidak menjalankan ritual-ritual yang diwajibkan.
3.      Santri meri, yaitu mereka yang tidak berilmu tapi dengan cermat menjalankan pola perilaku yang diwajibkan bagi santri.
4.      Santri blater, yaitu orang-orang yang taat dan fanatik. Keberadaan mereka lebih banyak merugikan masyarakat daripada menguntungkan.
5.      Santri ulia, yaitu mereka yang menganggap sembahyang dan berdoa sebagai suatu kesenangan sehingga hari-harinya dipenuhi dengan sembahyang dan berdoa.
Berdasarkan lima karakter santri di atas, tentunya karakter santri leres yang dapat dijadikan teladan bagi peserta didik di lingkungan pendidikan formal sekolah/madrasah.


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Badruzaman, Jajang, KTSP dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, Desember 6, 2007, http://lenterapena.wordpress.com/2007/12/06
Darmu'in, Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Sekolah/madrasah, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang, 1998.
Depdiknas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, untuk Sekolah Menengah Pertama/Sekolah/madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Depdiknas, 2006.
Dhofier, Zamahsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982.
Geertz, Cliford, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981
Hamalik, Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Johan, Varian Masyarakat Jawa Menurut Dr. Geertz,  http://johanajojo.blogspot. co.id/2012/04/varian-masyarakat-jawa-menurut-dr.html.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2003.
Mulyasa, Ecols, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2003.
Muslich, Masnur, KTSP; Dasar Pemahaman dan Pengembangan Pedoman bagi Pengelola Lembaga Pendidikan, Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah, Dewan Sekolah, dan Guru, Jakarta: Bina Aksara, 2007.
Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal SD/MI/SDLB - SMP/MTS/SMPLB ± SMA/MA/SMALB/SMK, Jakarta, Depdiknas, 2007.
Raharjo, Dawam (ed), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pengembangan Pendidikan, Ekonomi dan Sosial, 1983.
Riwayuat, 2007, Pengembangan Muatan Lokal, http://islam-intelek-pendidikan.blogspot.com /2007/11 /pengembangan-muatan-lokal.html
Sarijo, M., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bakti, 1980.
Soehendro, Bambang, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: BSNP, 2006
Steenbrink, Karel A.,Pesantren, Sekolah/madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta, LP3ES, 1986.
Sudrajat, Akhmad, Komponen-Komponen Kurikulum, http://akhmadsudrajat.wordpress.com /2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum
Tholkhah, Imam, Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI, Jakarta: Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Ditpais, Depag RI.
Tim Penyusun Kamus PPPB Depdikbud, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.Tim Penyusun Kamus PPPB, 1996.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter Bangsa http://iprafuns.blogspot.co.id/2010/02/peran-pesantren-dalam-pendidikan.html, Kamis, 11 Februari 2010.


[1]M. Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bakti, 1980); lihat juga Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982).
[2] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Sekolah/madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta, LP3ES, 1986), hlm. 24-25.
[3]Ibid., hlm. 24.
[4] Ibid., hlm. 25.
[5] Darmu'in, Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Sekolah/madrasah, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang, 1998).
[6] Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pengembangan Pendidikan, Ekonomi dan Sosial, 1983), hlm. 2.
[8]Ibid.
[9] S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 9.
[10]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2003), hlm. 60.
[11] Bambang Soehendro, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat  Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: BSNP, 2006:  hlm.  3;  lihat  juga:  Depdiknas,  Kurikulum  Tingkat  Satuan  Pendidikan,  untuk  Sekolah Menengah Pertama/Sekolah/madrasah Tsanawiyah, (Jakarta: Depdiknas, 2006), hlm. 1.
[12] Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal SD/MI/SDLB - SMP/MTS/SMPLB ± SMA/MA/SMALB/SMK, (Jakarta, Depdiknas, 2007),hlm. 4.
[13] Mohlm. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 145.
[14] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung, Remaja Rosdakarya), hlm. 266-267.
[15] Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, op.cit., hlm. 2.
[16]Riwayuat, 2007, Pengembangan Muatan Lokal, http://islam-intelek-pendidikan.blogspot.com /2007/11 /pengembangan-muatan-lokal.html
[17] Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, op.cit., hlm. 4.
[18]Jajang Badruzaman, KTSP dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, Desember 6, 2007, http://lenterapena.wordpress.com/2007/12/06
[19] Bambang Soehendro, op.cit., hlm. 10
[20] Imam Tholkhah, Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI, (Jakarta: Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Ditpais, Depag RI.).
[21] Ibid., hlm. 66.
[22] Ibid., hlm. 67.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 69.
[25] Akhmad Sudrajat, Komponen-Komponen Kurikulum, http://akhmadsudrajat.wordpress.com /2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum, hlm. 11
[26] Ibid.
[27] Ibid., hlm. 5.
[28] Ibid., hlm. 6.
[29] Ia adalah Ketua Tanfidziyah PCI NU Jerman, dosen Universitas Paramadina Jakarta yang merupakan peserta Program ARFI 2014. Lihat: Suratno, Pendidikan Karakter dan Revolusi Mental, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,55601-lang,id-c,kolom-t,Pendidikan+Karakter+dan+Revolusi+Mental-.phpx. Diakses: Rabu, 29 April 2015.
[30] Lihat: Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah : Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen, Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1986.
[31] Ibid.

[32]Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter Bangsa http://iprafuns.blogspot.co.id/2010/02/peran-pesantren-dalam-pendidikan.html, Kamis, 11 Februari 2010

[33] Lihat lebih lanjut: Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.
[34] Johan, Varian Masyarakat Jawa Menurut Dr. Geertz,  http://johanajojo.blogspot.co.id/2012/04/varian-masyarakat-jawa-menurut-dr.html. Lihat pula buku aslinya: Cliford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MTS DARUL ULUM NGALIYAN SEMARANG

PERMENAG RI NO.2 TH. 2008, TTG SKL-SI PAI DAN B.ARAB