PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
MELALUI PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL BERBASIS PESANTREN
BY: Ahmad Mustafidin, M.S.I
ABSTRAK
Karakter bangsa yang religious, santun, moderat, saling
menghormati, mandiri, dan sebagainya sebagaimana dimanatkan dalam Pancasila, perlu
dibentuk dan dikembangkan melalui dunia pendidikan. Oleh karena itu,
nilai-nilai karakter yang telah ditanamkan di pondok pesantren nampaknya dapat
dijadikan acuan bagi pengembangan kurikulum muatan local di sekolah dan
madrasah formal. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap perlu dikaji
tentang: 1) konsep umum kurikulum muatan lokal, 2) pengembangan kurikulum
muatan local berbasis pesantren, dan 3) urgensi
kurikulum muatan lokal berbasis pesantren bagi pembentukan karakter bangsa.
Berdasarkan deskripsi mendalam
menunjukkan bahwa: 1) kurikulum muatan lokal dapat diterapkan pada
sekolah/madrasah formal melalui pengembangan salah satu mata pelajaran yang
diinginkan oleh lembaga pendidikan bersangkutan dengan mempertimbangan kebutuhan
sekolah, bakat dan minat siswa, serta masyarakat/orangtua. Muatan lokal ini
dapat dikembangkan melalui mata pelajaran intrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler
maupun kokurikuler (pembiasaan di lingkungan sekolah). 2) kurikulum muatan lokal
berbasis pesantren dapat dikembangkan sebagai ciri khas dan keunggulan
sekolah/madrasah dalam membentuk kepribadian peserta didik yang berkarakter “santri.
Materi keagamaan dan nilai-nilai kepribadian santri yang telah dibiasakan
di lingkungan pesantren kemudian ditransfer di dalam kurikulum
sekolah/madrasah. Pengembangannya bisa secara penuh dengan pondok/asrama
sebagai ciri khasnya, maupun kurikulum mata pelajarannya saja, dan juga bisa
melalui kegiatan pengembangan diri, ekstrakurikuler dan kokurikuler. 3) Sistem pendidikan
pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, dan politikus, bahkan sampai saat ini pun
dapat dibuktikan. Jika nilai-nilai karakter santri leres (ideal)
dapat diterapkan di lingkungan sekolah/madrasah, tentunya dapat mendukung
terbentuknya karakter bangsa di masa mendatang. Nilai yang diharapkan antara
lain: menanamkan
iman yang kokoh dalam jiwa, bersikap
tegas menentang kekafiran dan kebatilan secara konsekuen, membentuk
intelektualitasdan kesholehan (moralitas),
membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran Islam,
menjadikan dirinya bagaikan benteng terakhir pertahanan terakhir
dari serangan kebudayaan negatif.
Kata Kunci: Karakter Bangsa, Kurikulum Muatan Lokal,
Pesantren.
PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
MELALUI PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL BERBASIS PESANTREN
A. Pendahuluan
Lembaga Pendidikan
Islam pertama didirikan di Indonesia adalah dalam bentuk pesantren.[1] Melalui karakternya
yang
khas, pesantren telah
mampu
meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri
tidak hanya dibekali pemahaman tentang
Islam tetapi juga kemampuan menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Pada
tahap
berikutnya, masuknya
model
pendidikan sekolah yang dibawa
oleh Kolonial
Belanda membawa dampak
kurang menguntungkan bagi umat Islam saat itu, karena mengarah pada lahirnya dikotomi ilmu agama
dan ilmu sekuler, dan bahkan diskriminatif.[2] Sebagaimana diungkapkan
oleh Karel A. Steenbrink,[3] bahwa pendidikan
yang
dikelola oleh pemerintah kolonial
ini
berpusat pada pengetahuan
dan ketrampilan duniawi, yaitu
pendidikan umum,
sedangkan pendidikan Islam
lebih ditekankan
pada penghayatan
agama.[4] Dampak positif bagi
perkembangan pendidikan Islam
ialah
masuknya sistem pendidikan sekolah ini ke dalam lembaga pendidikan
Islam. Corak model
pendidikan ini dengan
cepat menyebar tidak hanya
di pelosok pulau Jawa tetapi
juga di luar pulau Jawa, dari
sinilah embrio
sekolah/madrasah lahir.
Sekolah/madrasah
juga tidak mungkin lepas
dari berbagai problema
yang
dihadapi
terutama dalam upaya
inovasi sistem pendidikan Islam.
Problema-problema tersebut, menurut Darmu'in, antara lain: pertama, sekolah/madrasah telah kehilangan akar sejarahnya,
artinya keberadaan sekolah/madrasah bukan merupakan kelanjutan
pesantren, meskipun
diakui bahwa
pesantren merupakan bentuk lembaga
pendidikan Islam pertama di Indonesia. Kedua,
terdapat dualisme pemaknaan terhadap sekolah/madrasah,
di satu sisi, sekolah/madrasah diidentikkan
dengan sekolah karena
memiliki muatan kurikulum yang relatif sama dengan sekolah
umum.
Sekolah/madrasah dianggap sebagai
pesantren dengan
sistem klasikal
yang kemudian dikenal dengan sekolah/madrasah diniyah.[5]
Beberapa
permasalahan yang muncul kemudian, antara lain: pertama, berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat sebagai upaya pendangkalan
pemahaman agama, karena muatan kurikulum agama sebelum
SKB dirasa belum
mampu
mencetak
muslim
sejati, apalagi
kemudian dikurangi. Kedua, tamatan sekolah/madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan
pengetahuan umumnya juga rendah.[6]
Upaya untuk menjembatani antara
model pendidikan
pesantren dan model pendidikan sekolah, sekolah/madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan.
Permasalan yang muncul akhir-akhir ini adalah dekadensi
moral bangsa, yang dimulai dari para pejabat negara yang korup, sistem
pemerintahan yang rawan dengan KKN, tawuran antar pelajar, ketidakadilan para
penegak hukum, kesenjangan social, dan lain sebagainya. Sehingga pantas apabila
jargon pemerintahan Joko Widodo dan Yusuf Kalla dikenal dengan “Revolusi
Mental” atau “Pendidikan Karakter”.
Pendidikan karakter menjadi sangat penting karena tiga
hal; (1) secara makro, telah terjadi kemerosotan karakter bangsa ditandai oleh
tingginya indeks korupsi, premanisme dan kekerasan. (2) secara mikro
dalam dunia pendidikan juga banyak kasus bullying, tawuran-antar
pelajar, kelemahan sistim kurikulum dan proses pembelajaran yang tidak kondusif
bagi pembentukan karakter bangsa. (3) Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden
terpilih sejak kampanye sudah menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga
hal utama kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya.[7]
Pentingnya
pendidikan karakter ini juga seperti kutipan dari Presiden Soekarno bahwa tidak
ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan karakter bangsa. Mahatma Gandhi juga
mengatakan bahwa pendidikan tanpa karakter adalah satu dari tujuh ”dosa-dosa
berat” dari sebuah masyarakat (seven deadly sins of society).[8]
Solusi yang ditawarkan untuk
meneruskan program revolusi mental melalui dunia pendidikan antara lain dengan “Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis
Pesantren.” Melalui kajian singkat ini diharapkan dapat membuka cakrawala
insan akademika untuk mengkaji bagaimana konsep kurikulum muatan lokal berbasis
pesantren? Bagaimana implementasinya? dan bagaimana urgensinya bagi pembentukan
karakter bangsa?
B.
Tinjauan
Teoritis Kurikulum Muatan Lokal
1. Pengertian
Kurikulum Muatan Lokal
Sebelumnya membahas kurikulum muatan lokal, perlu dipahami
terlebih
dahulu pengertian kurikulum. Sebagaimana
diketahui,
istilah
kurikulum
berasal
dari
bahasa
Latin curriculum yang memiliki arti a running course or race course,
especially a chariot maksud semua itu
adalah to run atau berlari.[9]
Pada perkembangan
selanjutnya istilah
tersebut digunakan untuk sejumlah courses
atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah, atau sejumlah materi pelajaran yang ditawarkan oleh
suatu lembaga pendidikan
atau
jurusan.
Menurut pemahaman baru, kurikulum
diartikan
sebagai segala
kegiatan yang dirancang oleh lembaga pendidikan untuk disajikan kepada peserta didik guna
mencapai tujuan pendidikan (instruktional, kurikuler dan institutional).
Pengertian
kurikulum
menurut
pandangan
para ahli pendidikan
modern
adalah berupa pengalaman belajar, baik di
dalam maupun di luar lingkungan sekolah/sekolah/madrasah. Pengertian tersebut berarti memiliki cakupan luas sebagai seluruh kegiatan peserta didik yang berada di bawah tanggung jawab dan bimbingan lembaga.
Pengertian tersebut juga menggambarkan segala aktivitas yang sekiranya memiliki efek bagi pengembangan peserta didik
dimasukkan ke dalam kurikulum.[10]
Jadi, pengertian kurikulum
adalah seperangkat
rencana
dan
pengaturan
mengenai
tujuan, isi dan
bahan
pelajaran serta cara
yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[11]
Muatan lokal
merupakan
kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi
yang disesuaikan dengan
ciri khas
dan
potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat
dikelompokkan ke
dalam mata pelajaran
yang
ada. Substansi
mata
pelajaran muatan lokal ditentukan
oleh satuan
pendidikan
yang
disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing.[12]
Mengingat kurikulum
muatan lokal
merupakan
bagian
dari kurikulum nasional, maka masuknya muatan lokal tidak berarti mengubah kurikulum
yang sudah ada. Artinya, ditinjau dari bidang studi yang telah ada dalam
kurikulum
nasional,
tetap digunakan
rujukan dalam memasukkan bahan pengajaran muatan lokal.
2.
Fungsi dan Tujuan Kurikulum Muatan Lokal
Salah satu ciri kurikulum pendidikan dasar 9 tahun adalah adanya
mata
pelajaran muatan lokal,
yang berfungsi
memberi
peluang untuk
mengembangkan
kemampuan siswa yang dianggap perlu oleh sekolah/madrasah
dan
daerah yang bersangkutan.[13]
a.
Fungsi Penyesuaian.
Sekolah/madrasah merupakan
komponen dalam masyarakat, sebab sekolah/madrasah berada di dalam lingkungan masyarakat. Oleh
karena itu,
program sekolah/madrasah
harus
disesuaikan dengan lingkungan, kebutuhan
daerah dan masyarakat.
b.
Fungsi Integrasi.
Peserta didik adalah bagian integral dari masyarakat. Karena itu, muatan
lokal merupakan program pendidikan yang berfungsi
mendidik pribadi-pribadi
peserta didik
agar dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dan lingkungannya atau berfungsi untuk
membentuk
dan
mengintegrasikan
pribadi
peserta
didik dengan masyarakatnya.
c.
Fungsi Perbedaan
Peserta didik yang satu dengan yang lain berbeda. Muatan lokal adalah suatu program pendidikan yang bersifat luwes,
yaitu program pendidikan yang pengembangannya disesuaikan dengan minat, bakat, kemampuan dan kebutuhan
peserta didik, lingkungan dan
daerahnya. Tujuan muatan lokal sebagaimana dijelaskan dalam Depdiknas,[15] yaitu untuk
memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang
keadaan
lingkungan
dan
kebutuhan
masyarakat
sesuai
dengan
nilai- nilai/aturan
yang
berlaku di
daerahnya
dan
mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional. Jadi, tujuan muatan lokal sifatnya
memperkaya,
memperluas tujuan pendidikan yang
telah
digariskan
dalam kurikulum nasional,
serta
tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
3.
Ruang Lingkup Kurikulum Muatan Lokal
a.
Sesuai Keadaan dan Kebutuhan Daerah
Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu
yang pada dasarnya
berkaitan
dengan
lingkungan
alam,
lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya. Kebutuhan
daerah adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di suatu
daerah, khususnya untuk kelangsungan hidup dan peningkatan taraf
kehidupan masyarakat tersebut, yang disesuaikan dengan
arah perkembangan daerah serta potensi
daerah
yang
bersangkutan.
1)
Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah
2)
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu, sesuai dengan keadaan perekonomian daerah
3)
Meningkatkan penguasaan
bahasa asing
untuk keperluan sehari-hari,
dan menunjang
pemberdayaan individu
dalam melakukan belajar lebih lanjut (belajar sepanjang hayat).
b.
Lingkup isi/jenis muatan lokal, dapat berupa: bahasa daerah, bahasa asing (Inggris, Mandarin, Arab dll), kesenian daerah, keterampilan dan
kerajinan daerah, adat
istiadat, dan pengetahuan tentang berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh
daerah yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik
daerah.[17]
4.
Struktur Kurikulum Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada
jenjang pendidikan dasar
dan menengah.
Pada Peraturan Menteri
Pendidikan
Nasional nomor 22
tahun
2006
tentang
Standar
Isi,
dicantumkan
bahwa
struktur
kurikulum untuk
pendidikan
dasar
dan menengah memberi alokasi
waktu untuk muatan lokal itu dua jam pelajaran dalam
satu minggu.[18]
Posisi muatan lokal dalam KTSP maupun
dalam kurikulum tahun 2013 adalah sebagaimana dijelaskan dalam BSNP, meliputi sejumlah mata pelajaran yang
keluasan dan
kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik
pada satuan
pendidikan. Selain itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk
ke
dalam isi kurikulum.[19]
C. Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Sekolah/madrasah memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan waktu untuk
mengajar, membimbing, dan mengevaluasi hasil belajar siswa, maka alternatif
yang sangat
memadai
untuk
mengatasi keterbatasan tersebut adalah pengembangan sekolah/madrasah berbasis pesantren.
Akan tetapi,
mengenai basis
pesantren yang
akan dikembangkan tentu dapat beraneka ragam, mulai dari
jenis pesantren yang
berorientasi tradisional
hingga jenis pesantren yang orientasi modern.
1.
Strategi Pengembangan Sekolah/madrasah Berbasis Pesantren
Menurut Imam
Tolkhah,[20] ada dua
strategi yang dapat
dikembangkan
tentang
sekolah/madrasah/sekolah berbasis
pesantren, yakni
pengembangan PAI berbasis pesantren secara penuh dan pengembangan PAI berbasis pesantren
secara parsial:
a.
Pengembangan PAI
berbasis pesantren
secara
penuh
pada
sekolah/madrasah/sekolah
Pengembangan PAI di
sekolah/madrasah berbasis pesantren
secara penuh dapat dilakukan dengan dua model:
1)
Pesantren mengembangkan
sekolah/madrasah diniyah
sekaligus
sekolah.
Bahkan pesantren mendirikan sekolah/sekolah/madrasah
terkesan meningkat. Bagi sebagian pesantren, pendirian sekolah/madrasah tersebut memang
diperuntukan para
santri
yang mondok
di pesantren. Melalui cara ini
diharapkan bahwa para santri tidak saja hanya menguasai ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum
yang
setara
dengan para
siswa di
sekolah lain.[21]
2)
Pesantren dimunculkan
bersamaan
atau setelah pengembangan
sekolah/sekolah/madrasah
Ada beberapa prasyarat
yang diperlukan untuk mengembangkan budaya pesantren secara penuh pada sekolah/madrasah
dengan pertama, di samping
adanya
fasilitas sekolah/madrasah
yang
memadai,
perlu
memiliki sarana
atau fasilitas
pesantren seperti
masjid, kitab-kitab agama, perpustakaan, laboratorium, sarana olah
raga, seni
dan
teknologi
informasi.
Kedua, diperlukan seorang
kepala sekolah/madrasah
dan
para siswa, guru, tutor serta kyai yang tinggal
dalam satu komplek asrama.
Ketiga, diperlukan
kesiapan siswa
untuk belajar secara total (menjadi santri).[22] Keempat, diperlukan
seorang kepala sekolah/madrasah yang berkualitas (kemampuan manajerial serta dedikasi
yang
tinggi).
Kelima, diperlukan
sejumlah
guru,
tutor dan
tenaga
administrasi
yang
berkualitas sesuai
dengan kebutuhan pendidikan.[23]
b. Pengembangan PAI berbasis
pesantren secara parsial pada sekolah/sekolah/madrasah
Pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah berbasis pesantren
secara parsial pada
dasarnya
menempatkan sebagian dari nuansa
pesantren (yang mencakup keberadaan fisik dan nonfisik)
dalam sistem
pendidikan sekolah/sekolah/sekolah/madrasah. Hal
ini
menunjukkan
bahwa, sistem pendidikan sekolah/madrasah
mengadopsi sebagian dari unsur atau kultur pesantren. Berikut ini contoh pembelajaran PAI berbasis
pesantren secara parsial pada sekolah/madrasah:
1. Pengembangan Pesantren Kilat
2. Boarding school.
3. Pengembangan Simbol Agama.[24]
2.
Ruang Lingkup Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu: tujuan, materi,
strategi
pembelajaran,
organisasi kurikulum, dan evaluasi.[25] Kelima komponen tersebut
di atas, menurut Akhmad Sudrajat[26] memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan.
Oleh karena itu ruang lingkup kurikulum muatan lokal berbasis
pesantren juga meliputi lima komponen tersebut, yaitu: Tujuan kurikulum muatan
lokal disesuaikan
dengan
tujuan satuan
pendidikan
(sekolah/madrasah
bersangkutan), institusional,
maupun
instruksional. , apabila sekolah/madrasah
yang dikembangkan berciri khas pesantren salaf,
maka tujuannya juga berorientasi
pada pesantren salaf.
Begitu halnya
jika sekolah/madrasah
yang dikembangkan
mengikuti pesantren modern,
maka ciri
khas muatan lokalnya bertujuan ke arah tersebut.
Materi kurikulum
muatan lokal
berbasis
pesantren bisa mengadopsi
kurikulum pesantren
salafiyah (tradisional)
maupun
kurikulum pesantren
khalafiyah (modern). Penentuan
dan
pengambilan
mata pelajarannya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.
Strategi pembelajaran muatan lokal adalah sama halnya dengan kurikulum
Nasional dan
Depag, namun
lebih banyak
berupa ceramah, praktek, menemukan/mengalami sendiri (inquiry), pembiasaan dan teladan (modelling).
3.
Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren
Ada dua pola pengembangan mata pelajaran muatan lokal dalam
rangka menghadapi pelaksanaan KTSP. Pola tersebut adalah:
a.
Pengembangan Muatan Lokal Sesuai Kondisi Sekolah/madrasah
Langkah pengembangan mata pelajaran muatan lokal tersebut
sesuai dengan penjelasan oleh Tim BMPS yaitu:
1)
Analisis mata pelajaran muatan lokal yang ada di sekolah/sekolah/madrasah. Apakah masih layak dan relevan mata pelajaran muatan lokal diterapkan di sekolah/madrasah?
2)
Bila mata pelajaran muatan
lokal
yang diterapkan
di sekolah/madrasah tersebut masih layak digunakan maka kegiatan
berikutnya adalah
merubah mata pelajaran
muatan
lokal tersebut ke dalam SK dan KD
3)
Bila mata pelajaran muatan lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka sekolah/madrasah bisa menggunakan mata pelajaran
muatan
lokal
dari
sekolah/madrasah lain atau tetap
menggunakan mata pelajaran muatan lokal yang ditawarkan
oleh Dinas atau mengembangkan
muatan lokal yang lebih
sesuai.
Selain
melalui
langkah-langkah
di atas, untuk
menerapkan
suatu
mata
pelajaran muatan
lokal
perlu
mempertimbangkan
kebutuhan
sekolah/madrasah dan
mengikuti
sekolah/madrasah lain atau
Dinas setempat.
b.
Pengembangan Muatan Lokal dalam KTSP
Langkah-langkah pengembangan mata pelajaran muatan lokal
yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1)
Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah
2)
Menentukan fungsi dan
susunan atau komposisi muatan lokal
3)
Mengidentifikasi
bahan kajian muatan lokal
4)
Menentukan mata
pelajaran muatan lokal
5)
Mengembangkan
Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar serta silabus, dengan mengacu pada
Standar Isi yang ditetapkan BSNP.[27]
Pihak yang terlibat dalam pengembangan ialah pihak sekolah/madrasah dan komite
sekolah/madrasah, yang mempunyai wewenang
penuh
dalam
mengembangkan program muatan lokal Bila dirasa tidak mempunyai SDM dalam mengembangkan,
sekolah/madrasah dan komite sekolah/madrasah dapat
bekerjasama dengan unsur-unsur Depdiknas seperti Tim Pengembang
Kurikulum (TPK) di daerah, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Perguruan Tinggi dan instansi/lembaga di luar Depdiknas, misalnya pemerintah Daerah/Bapeda, Dinas Departemen lain terkait, dunia usaha/industri, dan tokoh masyarakat.[28]
D. Urgensi
Kurikulum Muatan Lokal Berbasis Pesantren Bagi Pembentukan Karakter Bangsa
Menurut Suratno,[29]
istilah pendidikan karakter mulai dicetuskan akhir abad ke-18 oleh seorang
pakar pendidikan dari Jerman yakni Friedrich Foerster (1869-1966) yang menandai
pendidikan karakter dengan 4 ciri yakni; (1) anak didik menghormati nilai dan
normatif yang ada, (2) membangun rasa percaya diri sehingga anak didik tidak
takut suasana baru, (3) adanya otonomi diri dimana anak didik menghayati dan
mengamalkan aturan sampai kemudian terinternalisasi dalam dirinya, dan (4)
keteguhan anak dalam mewujudkan apa yang dianggap baik dan penghormatan pada
komitmen yang dipilihnya.
Dalam konteks
Indonesia, Presiden pertama Soekarno merumuskan UU No. 4/1950 bahwa pendidikan
harus sesuai dengan tujuan negara dan perlunya nation and character building
karena masyarakat Indonesia mengalami kerusakan mental yang parah akibat
penjajahan. Tahun 1965 Soekarno memutuskan Pancasila sebagai dasar Sistim
Pendidikan Nasional dan menjadi pelajaran wajib dari Sekolah Dasar sampai
Pergurutan Tinggai. Keputusan ini lalu dipertegas Presiden Soeharto di tahun
1967.
Tahun 1976
Pelajaran pancasila di ganti menjadi PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan tahun
1979 Presiden Soeharto menjadikan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) sebagai program nasional. Tahun 1994 PMP diganti menjadi PPKN
(Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).
Tahun 2001, di
tengah tuntutan reformasi untuk mereformasi Pancasila versi Orde Baru, PPKN di
ganti hanya PKN (Pendidikan Kewarganegaraan). Di dunia Pendidikan sejak
reformasi Pancasila justru terkesan di pinggirkan. Persepsi peserta didik
terhadap pelajaran Pancasila dari SD sampai perguruan tinggi juga sangat tidak
menggembirakan.
Sejak terpilih
beberapa bulan lalu Jokowi-JK sudah menegaskan perlunya revolusi mental. Di
bidang pendidikan, hal ini sinkron dengan Pendidikan Karakter yang belum lama
digodok kemendikbud terkait pelaksanaan kurikulum 2013 (K-2013). K-2013 yang
relatif pelaksanaannya kacau balau, tapi secara konseptual mengandung menekanan
pada aspek tidak hanya kognitif, tapi juga afektif, motorik dan social-skill
sehingga bila dilaksanakan dengan baik dan benar bisa mendorong pembentukan
karakter di sekolah.
Pusat Kurikulum
Kemendikbud telah menyusun strategi pendidikan karekter ini, yang melalui empat
hal yakni pembelajaran (teaching), keteladanan (modelling),
penguatan (reinforcing) dan pembiasaan (habituating).
Nilai-nilai dalam pendidikan karakter diambil dari empat sumber utama yakni:
agama, budaya, Pancasila dan tujuan pendidikan.
Kemendikbud juga
telah menetapkan 18 nilai utama dalam pendidikan karakter yakni relijius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, mandiri, demokratis, ingin-tahu,
semangat-kebangsaan, cinta-tanah-air, menghargai-prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta-damai, gemar-membaca, peduli-lingkungan,
peduli-sosial, dan tanggung-jawab.
Di level sekolah
guru akan menjadi ujung tombak pelaksanaan pendidikan karakter karena mereka
yang langsung berinteraksi dengan anak didik. Guru sesuai asal katanya di gugu
(dipercaya) dan di tiru (menjadi tauladan) memegang peranan penting. Sayangnya
profil guru baik dari profesionalitas, kompetensi, kesejahteraan dan pemerataan
guru antara kota dan desa masih belum baik.
Melalui
pengembangan kurikulum muatan lokal berbasis pesantren diharapkan mampu menjadi
solusi di tengah kegelisahan dari berbagai kalangan. Pembaharuan pendidikan
Islam di Indonesia sebagaimana dikembangkan sejak awal abad ke-20, dari
pesantren kemudian madrasah dan sekolah,[30]
hingga saat ini nampaknya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendidikan
sekolah/madrasah yang masih sedikit materi keagamaan dan pembiasaan nilai-nilai
karakter ke-Islam-an ini perlu dikembangkan melalui pengembangan kurikulum
muatan lokal di sekolah formal.
Bagi bangsa
Indonesia saat ini, pendidikan karakter ini suatu keharusan dalam koridor
revolusi mental yang sudah digagas Jokowi-JK. Oleh karena itu, pendidikan
karakter akan saling terkait dengan aspek lainnya dalam kehidupan bernegara
seperti agama, budaya, sosial, politik dan sebagainya. Oleh karena itu
pendidikan karakter yang termaktub dalam kurikulum inti saja tidak cukup. Maka
butuh pengembangan salah satunya melalui kurikulum muatan lokal, dengan
manambah porsi jam mata pelajaran keagamaan sebagai muatan local dan pembiasaan
akhlakul karimah sebagaimana yang diterapkan di pesantren.
KH. Miscbach,
tokoh dari kalangan ulama, mengatakan dalam Mubes al-Ittihad al-Ma’ahid Islamiyah pada tanggal 2-3 Agustus 1969 bahwa
pesantren merupakan kubu pertahanan mental masa-masa kolonial Belanda. Artinya,
pesantren tidak hanya sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan
senjata penjajah, namun pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat
mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan
kebudayaan Indonesia dengan Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem
pertahanan masyarakat Indonesia saat itu dominan dipengaruhi pesantren. Tentu,
ini dikarenakan tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan
budaya Barat, dalam hal ini Belanda sebagai penjajah.
Pesantren juga
sukses dalam memberantas buta huruf pada masyarakat akar rumput masa penjajahan
dengan sistem mengenalkan bahasa Arab Melayu. Di lain hal, pesantren merupakan
lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat muslim Indonesia yang pertama membuka
isolasi kultural dengan dunia luar. Hal ini adalah bentuk kemampuan pesantren
dalam mengaktualkan bahasa Arab. Turunannya adalah membuka wacana bangsa hingga
dapat berinteraksi dengan dunia dan keilmuan yang lebih luas.
Dengan demikian,
sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, bahkan politikus, bahkan sampai
saat ini pun dapat dibuktikan. Banyak tokoh-tokoh nasional sekarang pernah
mengenyam pendidikan pesantren secara baik. K.H. Hasan Basri, tokoh dan ulama
nasional mengatakan bahwa beberapa titik keberhasilan pesantren, antara lain:
1.
Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para
santri sehingga mereka memiliki daya dan semangat juang yang tinggi untuk
Islam.
2.
Bersikap tegas menentang kekafiran dan kebatilan secara
konsekuen dan menyatukan diri dengan golongan pergerakan yang mempunyai
pandangan yang sama.
3.
Mampu membentuk kecerdasan (intelektualitas) dan
kesholehan (moralitas) pada diri para santri, menguasai ilmu-ilmu yang
diajarkan, dan membina diri untuk memiliki akhlak terpuji.
4.
Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab
berdasarkan ajaran Islam (masyarakat santri) sehingga menjadi kekuatan sosial
dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat bangsa Indonesia.
5.
Menjadikan dirinya bagaikan benteng terakhir pertahanan
terakhir ummat Islam dari serangan Kebudayaan Barat yang dilancarkan pemerintah
kolonial Belanda. Dengan kata lain, pesantren berhasil menyelamatkan kebudayaan
Islam di Indonesia.
6.
Pesantren dan masyarakat santrinya adalah satu-satunya
lembaga pendidikan di Indonesia yang tidak mengenal kompromi atau bekerja sama
dengan pemerintah kolonial Belanda.
7.
Dalam menghadapi arus perubahan sosial, politik,
ekonomi, dan kebudayaan yang melanda bangsa Indonesia, ternyata masih tetap
menunjukkan vitalitasnya untuk tetap berperan sebagai salah satu kekuatan
sosial yang penting bagi peradaban Islam di Indonesia, baik masa kini maupun
masa mendatang. Pesantren juga ternyata tidak tergilas oleh arus perkembangan
lembaga-lembaga pendidikan modern yang berkiblat ke Barat.
Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pesantren, dulu ataupun sekarang, merupakan lembaga yang berhasil membentuk karakter-karakter pribadi muslim (santri) dan memiliki peranan besar dalam membina ummat dan bangsa hingga ke pelosok pedesaan.[31]
Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pesantren, dulu ataupun sekarang, merupakan lembaga yang berhasil membentuk karakter-karakter pribadi muslim (santri) dan memiliki peranan besar dalam membina ummat dan bangsa hingga ke pelosok pedesaan.[31]
Menurut Dr. K.H.
Abdullah Syukri Zarkasyi (Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo),
bahwa pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang
indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam
mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri).[32]
Hal itu karena:
Pertama, Adanya
Panca Jiwa yang terdiri dari: Keikhlasan, Kesederhanaan, Kemandirian, Ukhuwah
Islamiyah, dan Kebebasan dalam menentukan lapangan perjuangan dan kehidupan.
Panca jiwa ini menjadi landasan ideal bagi semua gerak langkah pesantren.
Kedua, Pesantren
juga mempunyai falsafah yang menjadi mutiara hikmah bagi seluruh penghuni
pesantren. Diantaranya ada Falsaafah kelembagaan, seperti: 1) Pondok adalah
lapangan perjuangan, 2) Hidupilah Pondok, dan jangan menggantungkan hidup
kepada Pondok, 3) Pondok adalah tempat ibadah dan thalabul ‘ilmi, 4) Pondok
berdiri di atas dan untuk semua golongan. Selain itu ada juga falsafah
pendidikan, seperti: 1) Apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dikerjakan
oleh santri sehari-hari adalah pendidikan, 2) Hidup sekali, hiduplah yang
berarti, 3) Berani hidup tak takut mati, takut mati, jangan hidup, takut hidup
mati saja, 4) Berjasalah, tetapi jangan minta jasa, 5) Sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya, 6) Hanya orang penting yang tahu
kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu arti perjuangan. Sedang diantara
falsafah pembelajarannya adalah: 1) Metode lebih penting daripada materi, guru
lebih penting daripada metode, jiwa guru lebih penting daripada guru itu
sendiri, 2) Pondok memberikan kail, tidak memberi ikan, 3 Ujian untuk belajar,
bukan belajar untuk ujian, 4) Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal dan
ibadah.
Transformasi
nilai-nilai pendidikan pesantren yang berlangsung sepanjang tahun, melalui
berbagai sarana (lisan, tulisan perbuatan dan kenyataan), telah mampu memadukan
seluruh komponen pesantren dalam satu barisan. Sehingga tidak terjadi
tarik-menarik kepentingan dan orientasi antara satu pihak dengan lainnya.
Semuanya melandasi gerak langkahnya dengan bahasa keikhlasan, kesederhanaan,
kesungguhan, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah. Semua
mempunyai pengertian dan keterpanggilan akan tanggungjawab untuk merealisasikan
visi dan misi pendidikan pesantrennya. Semua mempunyai keterikatan pada sistem
hingga kultur yang sudah terbentuk di pesantren. Karena mereka semua mempunyai
kesadaran, keterpanggilan dan loyalitas baik kepada nilai, sistem maupun
pemimpin. Soliditas ini menumbuhkan kekuatan yang dahsyat dalam proses
pendidikan karakter di pesantren.
Jika karakter
tersebut di atas dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari, maka peserta didik
akan menjadikannya karakter pesantren dalam segala aktivitas hidupnya baik
ketika masih dalam proses pendidikan formal maupun setelah terjun di masyarakat
luas.
Untuk itulah,
maka pengembangan karakter model pesantren ini perlu dijadikan top model
dalam pendidikan formal baik sekolah maupun madrasah. Penciptaan lingkungan model
pesantren di lingkungan sekolah dan madrasah memang belum banyak dilakukan.
Jika di antara lembaga mau membiasakan lingkungan model pesantren, dapat
dilakukan melalui:
1. Penugasan
1. Penugasan
2. Pembiasaan
3. pelatihan
4. Pengajaran
5. Pengarahan, dan
6. keteladanan.
Selain penciptaan
lingkungan, dapat juga dilakukan dengan membina peserta didik melalui berbagai
macam pendekatan, seperti; 1) Pendekatan program, 2) Pendekatan manusiawi
(personal), dan 3) Pendekatan idealisme.
Pada praktiknya,
pengembangan bentuk kurikulum muatan lokal berbasis pesantren bisa dilakukan
sesuai kebutuhan dengan berbagai pilihan. Menurut Mastuhu,[33]
ada beberapa arah perkembangan pendidikan pesantren yang akan berjalan menempuh
bentuk-bentuk alternatif sebagai berikut:
1.
Tetap berbentuk lama, yaitu sebagai pendidikan non
formal yang khusus mendalami ilmu-ilmu agama.
2.
Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang
agama tetapi dilengkapi dengan berbagai ketrampilan, dengan catatan bahwa studi
keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan pemikiran dalam Islam.
3.
Berbentuk seperti alternatif kedua namun ada
penyelenggaraan pendidikan formal, baik sekolah/madrasah ataupun sekolah umum,
sebagaimana sekarang ini yang berlaku: ‘pesantren’ sekolah/madrasah dan sekolah
umum berada dalam satu ‘kampus’ pesantren.
4.
Berubah menjadi bentuk pendidikan formal yang mengasuh
khusus ilmu-ilmu agama.
5.
Berubah menjadi bentuk alternatif keempat ditambah
dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Alternatif pilihan tersebut di masa mendatang dapat
diimplementasikan pada sekolah/madrasah sebagai mata pelajaran muatan lokal
berbasis pesantren. Bentuk mata pelajarannya sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan di pesantren, baik fiqih, aqidah, akhlak, dan sebagainya. Lingkungan
keislaman dapat diciptakan di sekolah/madrasah sebagaimana pembiasaan yang ada di
pondok pesantren.
Untuk merealisasikan dan mengembangkan pendidikan
karakter nasional bangsa ada beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah
dan masyarakat antara lain sebagai berikut:
Pertama penyiapan
lembaga pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan yang mempunyai
orientasi character building, mementingkan pendidikan yang integral,
mengembangkan dan meningkatkan potensi anak didik dalam segala aspek
kemanusiannya. Pendidikan yang berbasis nilai, melakukan transformasi kepribadian,
akhlak, tingkah laku, pola fikir dan sikap. Bukan hanya mentransfer informasi
dan pengetahuan semata (aspek kognitif) dengan melalaikan aspek afektif dan
spikomotorik, melalui pembiasaan dan teladan sebagaimana yang dicontohkan di
pesantren.
Kedua menyiapkan
tenaga pendidik terutama kepala-kepala sekolah/madrasah yang handal untuk
merealisasikan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak
bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Tenaga pendidik dan kepala sekolah yang
mencintai tugasnya, mempunyai ruh dan semangat idealisme tinggi, berdedikasi
dan mempunyai integritas moral tangguh, mempunyai kecakapan menejerial dan
mampu menjadi teladan dalam segala hal bagi anak didiknya. Mereka harus
dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dengan senantiasa meningkatkan diri dan
memperbaharui pengetahuan (refresh/up-date), bersikap terbuka terhadap
hal-hal baru (open mind) dan bersikap bersedia membantu (helpful).
Ketiga penciptaan
lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan.
Diperlukan stabilitas nasional, dukungan keluarga, masyarakat, LSM maupun
lembaga lain merupakan pilar-pilar pendukung bagi keberlangsungan iklim
pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya karakter
bangsa peserta didik. Jika salah satu pilar terganggu maka seluruh proses
pembelajaran pun terganggu. Sistem asrama/pondok maupun pembiasaan di
lingkungan yang mendukung karakter sangat berpengaruh bagi jiwa peserta didik.
Jadi, karakter bangsa Indonesia yang berperangkai santri
tidak harus dibentuk melalui lembaga pendidikan pesantren saja, namun bisa juga
dilakukan di lingkungan pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah,
sebagaimana deskripsi di atas. Melalui pembiasaan nilai Islam, pembentukan
lingkungan dan teladan diharapkan menghasilkan output dan outcome yang
sesuai dengan karakter Islam. Sebagaimana pendapat Cliford Geertz,[34] yang mengatakan bahwa sebagian orang Jawa membagi varian santri ke dalam
beberapa kelompok, yaitu:
1. Santri leres, yaitu santri-santri yang berada di lingkungan
pondok pesantren yang rajin belajar ilmu keagamaan serta taat dan patuh
menjalankan ibadah
2. Santri blikon, yaitu mereka yang taat dan berpengetahuan tetapi
tidak menjalankan ritual-ritual yang diwajibkan.
3. Santri meri, yaitu mereka yang tidak berilmu tapi dengan
cermat menjalankan pola perilaku yang diwajibkan bagi santri.
4. Santri blater, yaitu orang-orang yang taat dan fanatik.
Keberadaan mereka lebih banyak merugikan masyarakat daripada menguntungkan.
5. Santri ulia, yaitu mereka yang menganggap sembahyang dan
berdoa sebagai suatu kesenangan sehingga hari-harinya dipenuhi dengan
sembahyang dan berdoa.
Berdasarkan lima karakter santri di atas, tentunya
karakter santri leres yang dapat dijadikan teladan bagi peserta didik di
lingkungan pendidikan formal sekolah/madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Badruzaman, Jajang,
KTSP dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, Desember 6, 2007, http://lenterapena.wordpress.com/2007/12/06
Darmu'in, Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Sekolah/madrasah, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, ”PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan
Agama Islam”, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo
Semarang, 1998.
Depdiknas, Kurikulum
Tingkat
Satuan
Pendidikan, untuk
Sekolah Menengah Pertama/Sekolah/madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Depdiknas, 2006.
Dhofier, Zamahsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982.
Geertz, Cliford, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981
Hamalik,
Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum,
Bandung, Remaja Rosdakarya.
Johan, Varian Masyarakat Jawa Menurut Dr.
Geertz, http://johanajojo.blogspot. co.id/2012/04/varian-masyarakat-jawa-menurut-dr.html.
Mastuhu,
Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,
Jakarta: INIS, 1994.
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum hingga Redefinisi
Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2003.
Mulyasa, Ecols,
Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2003.
Muslich,
Masnur, KTSP; Dasar
Pemahaman dan Pengembangan Pedoman bagi Pengelola
Lembaga Pendidikan, Pengawas Sekolah,
Kepala Sekolah, Dewan Sekolah,
dan Guru, Jakarta: Bina Aksara, 2007.
Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990
Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal SD/MI/SDLB
- SMP/MTS/SMPLB ± SMA/MA/SMALB/SMK, Jakarta,
Depdiknas, 2007.
Raharjo, Dawam (ed), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pengembangan Pendidikan, Ekonomi dan Sosial, 1983.
Riwayuat, 2007, Pengembangan
Muatan Lokal, http://islam-intelek-pendidikan.blogspot.com /2007/11 /pengembangan-muatan-lokal.html
Sarijo, M., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bakti, 1980.
Soehendro, Bambang, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: BSNP, 2006
Steenbrink, Karel A.,Pesantren, Sekolah/madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta, LP3ES, 1986.
Sudrajat,
Akhmad, Komponen-Komponen Kurikulum, http://akhmadsudrajat.wordpress.com
/2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum
Suratno, Pendidikan Karakter dan Revolusi Mental, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,55601-lang,id-c,kolom-t,Pendidikan+Karakter+dan+Revolusi+Mental-.phpx. Diakses: Rabu,
29 April 2015.
Tholkhah, Imam, Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI,
Jakarta: Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Ditpais, Depag RI.
Tim Penyusun Kamus PPPB Depdikbud, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.Tim Penyusun Kamus PPPB, 1996.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Zarkasyi, Abdullah Syukri. Peran Pesantren dalam
Pendidikan Karakter Bangsa http://iprafuns.blogspot.co.id/2010/02/peran-pesantren-dalam-pendidikan.html,
Kamis, 11 Februari 2010.
[1]M. Sarijo,
Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bakti, 1980); lihat juga Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982).
[2] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Sekolah/madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta, LP3ES, 1986), hlm. 24-25.
[5] Darmu'in, Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap Pesantren dan Sekolah/madrasah, dalam Chabib Thoha dan Abdul Mu’thi, ”PBM-PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan
Agama Islam”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas Tarbiyah lAIN Walisongo Semarang, 1998).
[6] Dawam Raharjo (ed), Pesantren
dan Pembaharuan, (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pengembangan Pendidikan, Ekonomi dan Sosial, 1983),
hlm. 2.
[7] Suratno, Pendidikan
Karakter dan Revolusi Mental, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,55601-lang,id-c,kolom-t,Pendidikan+Karakter+dan+Revolusi+Mental-.phpx. Diakses: Rabu,
29 April 2015.
[9] S. Nasution,
Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 9.
[10]Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
Kurikulum hingga Redefinisi
Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2003), hlm. 60.
[11] Bambang Soehendro, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: BSNP, 2006: hlm. 3; lihat
juga: Depdiknas,
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
untuk Sekolah
Menengah Pertama/Sekolah/madrasah Tsanawiyah, (Jakarta: Depdiknas,
2006), hlm. 1.
[12] Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Model Pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal
SD/MI/SDLB - SMP/MTS/SMPLB ± SMA/MA/SMALB/SMK, (Jakarta, Depdiknas, 2007),hlm. 4.
[15] Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, op.cit.,
hlm. 2.
[16]Riwayuat, 2007, Pengembangan
Muatan Lokal, http://islam-intelek-pendidikan.blogspot.com /2007/11 /pengembangan-muatan-lokal.html
[17] Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, op.cit.,
hlm. 4.
[18]Jajang Badruzaman, KTSP dan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, Desember 6, 2007, http://lenterapena.wordpress.com/2007/12/06
[19] Bambang Soehendro, op.cit., hlm.
10
[20] Imam Tholkhah, Strategi
Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI,
(Jakarta: Kasubdit Kelembagaan dan Kerjasama Ditpais, Depag RI.).
[22] Ibid., hlm. 67.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 69.
[25] Akhmad Sudrajat, Komponen-Komponen Kurikulum, http://akhmadsudrajat.wordpress.com /2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum, hlm. 11
[29] Ia adalah
Ketua
Tanfidziyah PCI NU Jerman, dosen Universitas Paramadina Jakarta yang merupakan
peserta Program ARFI 2014. Lihat: Suratno, Pendidikan
Karakter dan Revolusi Mental, http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,55601-lang,id-c,kolom-t,Pendidikan+Karakter+dan+Revolusi+Mental-.phpx. Diakses: Rabu,
29 April 2015.
[30] Lihat: Karel A Steenbrink, Pesantren,
Madrasah, Sekolah : Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen, Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial, 1986.
[32]Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter Bangsa http://iprafuns.blogspot.co.id/2010/02/peran-pesantren-dalam-pendidikan.html, Kamis, 11 Februari 2010
[34] Johan, Varian Masyarakat Jawa Menurut Dr.
Geertz, http://johanajojo.blogspot.co.id/2012/04/varian-masyarakat-jawa-menurut-dr.html.
Lihat pula buku aslinya: Cliford Geertz, Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981.
Pas banget
BalasHapusmashaallah
BalasHapus